Gereja Kota Langsa
Gereja Kota Langsa
Kekristenan di Aceh dimungkinkan berasal dari Gereja Katolik Roma Ordol Karmel, dimana pada tahun 1511 mula-mula mengadakan kontak dengan Indonesia. Kelompok dagang portugis ini datang bersama dua anggota Gereja yakni Dionisius dab Redemptus. Kelompok dagang ini mengunjungi Aceh dari Malaka. Setelah menguasai Malaka, Portugis memonopoli perrdagangan dan menyebarkan agama Katolik secara lebih teratur di wilayah Timur seperti Ambon dan halmahera, Ternate dan Tidore. Salah satu Zending Katolik di kawasan tersebut yakni Fransiscus Xaverius dari ordo Yesuit, Pastor dari Spnayol yang datang bersama kapal dagang Portugis. Perjalananini diaggap sebagai pelopor Katolik di Indonesia. Namun demikian monopoli dagang pada akhirnya menimbulkan perlawanan dari keajaan lokal, terutama Aceh, yang menyebabkan misi ini tidak dapat menyebar ke wilayah barat. Jan Bank dalam karyanya berjudul Katolki di Masa Revolusi Indoensia menuliskan bahwa awal abd 17, gereja katolik kehilangan pelindung dan wilayah.
Sejak abad ke-17, Kekristenan di Indonesia masa kolonial membawa agama Protestan. Penyebaran misi Protestan dibagi menjadi masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC, United East Indies Company) tahun 1602-1799 dan tahap kedua melalui The Dutch East Indies atau masa pemerintahan hindia Belanda tahun 1800-1942. Selama tahun 1602-1800, VOC mengirimkan 254 orang pendeta dan konselor sebjumlah 800 orang. VOC juga menanggung semua kebutuhan gereja termasuk gaji pendeta dan konselor kristen, pembangunan gedung gereja dan penerbitan buku-buku rohani. (Benyamin F.Intan, 2015). Namun gereja dalam cengkraman VOC justru menyebabkan perlawanan dari Gereja dan para umatnya. Sebagai contoh pemberontakan melawan kolonialis Belmada di Saparua dilakukan oleh Thomas Matulessy atau Pattimura (1783-1817) (Simatupang, 1985).
Awal abad 19 setelah VOC runtuh, Pemerintah Hindia Belanda menganut pola ’gereja negara’, namun lebih independen dan mandiri. Pembangunan gereja di wilayah pemerintah Hindia Belanda dilakukan untuk pelayanan terhadap umat. Maka perkembangan pembangunan gereja juga mengikuti perkembangan pemerintah Hindia Belanda baik untuk memenuhi keperluan ibadah bangsa belanda dan Eropa lainnya juga melayani umat yang berasal dari berbagai etnik asing seperti Cina dan masyarakat lokal. Pada abad ke-20 para penginjil Katolik dan protestan mulai mengubah paradigma mengenai adat dan kepercayaan lokal agar penginjilan lebih dapat diterima. Sekitar tahun 1934 hingga 1947 banyak didirikan gerja etnis lokal seperti Gereja Masehi Injili Minahasa tahun 1934, gereja-gereja Jawa, Gereja Kalimantan Evangelis dn Gereja Kristen Batak Protestan juga berdiri sekitar tahun-tahun tersebut (Benyamin F.Intan, 2015).
Masuknya umat kristen di Langsa disinyalir terjadi bersamaan dengan proses masuknya Belanda ke wilayah in yakni pada akhir abad ke-19 (1874). Sedangkan industrialisasi di Langsa genjar dilaksanakan pada kisaran tahun 1907-1917 menyebabkan pembangunan fasilitas atau sarana prasarana secara masif dilakukan (Muhajir, 2016). Berdasarkan peta kolonial yang diterbitkan tahun 1944 menginformasikan keberadaan sebuah gereja pada lokasi yang sama dengan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) saat ini (Muhajir, Yuliati, and Rochwulaningsih, 2017; Ansor, 2023).