VIHARA
VIHARA
Vihara Langsa, atau sering disebut Vihara Buddha Langsa, merupakan salah satu tempat ibadah umat Buddha yang berlokasi di Kota Langsa, Aceh. Vihara ini menjadi simbol penting toleransi beragama dan kekayaan budaya di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Dengan arsitektur yang khas dan suasana yang tenang, vihara ini sering menjadi pusat aktivitas keagamaan bagi umat Buddha.
Vihara ini memiliki sejarah panjang yang berakar dari komunitas Tionghoa yang telah lama tinggal di Langsa. Kehadiran komunitas ini membawa tradisi dan budaya mereka, termasuk agama Buddha yang mereka anut. Arsitektur Vihara Bodhi mencerminkan perpaduan gaya Tionghoa dengan sentuhan lokal, terlihat dari ornamen-ornamen khas seperti patung Buddha, ukiran naga, dan elemen dekoratif lainnya yang penuh warna. Ciri-ciri desain ini mencerminkan kearifan lokal yang harmonis dengan nilai-nilai Buddhis.
Vihara Langsa menjadi pusat kegiatan spiritual, seperti perayaan Waisak, ritual doa, dan meditasi yang rutin diadakan oleh komunitas umat Buddha setempat. Di sini, umat Buddha bisa berkumpul untuk memperdalam pemahaman mereka tentang nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan kebijaksanaan yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Selain sebagai tempat ibadah, Vihara Bodhi juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti bakti sosial dan kegiatan kemanusiaan. Misalnya membantu masyarakat yang mengalami musibah atau bencana alam. Umat Buddha di Langsa berhubungan baik dengan masyarakat setempat yang berbeda keyakinan. Hal ini menjadikan Vihara Langsa sebagai salah satu simbol penting harmoni antaragama di Aceh.
Umat Budha di Langsa merupakan warga keturunan Tionghoa. Meskipun hubungan Aceh danTionghoa telah berlangsung sejak lama, namun dalam Catatan Rusdi Sufi menyebut bahwa pembukaan hutan-hutan tropis di Sumatera Timur yang kemudian menjadi agroindustri hingga ke Aceh dan menjadi daya tarik bagi mereka. Rusdi Sufi juga menyebut bahwa bahwa orang-orang Cina yang datang ke Aceh merupakan pedagang yang gigih dan berbaur. ”Orang-orang Cina membangun rumahnya di dalam hutan dekta tempat penimbunan kayu. Beberapa dari mereka memiliki istri Cina, tapi kebanyak mengawini wanita setempat” (2008:38).
Keturunan Tionghoa di Indonesia umumnya menyebut diri mereka dengan sebutan Tebglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin, mereka dikenal sebagai Tangren atau Huaren. Penyebutan Tangren ini disebabkan karena mayoritas mereka berasal dari Tiongkok Selatan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Han (Nurani Soyomukti, 2012:106). Di wilayah Aceh, khususnya di Langsa, terdapat berbagai etnis, termasuk etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa merupakan kelompok minoritas dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Di Langsa, komunitas Tionghoa mempertahankan bahasa mereka dengan mengajarkannya kepada anak-anak sejak usia dini, agar anak-anak lebih mahir dalam berbahasa Tionghoa dengan dialek Hokkian dan Khek (Ramazan, 2016:101).
Mayoritas masyarakat Tionghoa di Langsa menggunakan bahasa Tionghoa dalam dialek Hokkian dan Khek. Mereka umumnya tetap memegang teguh tradisi leluhur yang dibawa ke Langsa. Tradisi leluhur ini tercermin dalam penggunaan bahasa Tionghoa dan berbagai tradisi lainnya dalam kehidupan sehari-hari komunitas Tionghoa. Berdasarkan data Bdan Pusat Statistik Tahun 2010 diketahui bahwa penduduk Tioghoa di langsa mencapai jumlah 684 orang dengan rincian 374 orang laki-laki dan 310 orang perempuan.